
Dengan begitu maka sudah tidak relevan lagi jikalau masih ada anggapan di antara para pendidik ---dalam hal ini guru--- yang menganggap bahwa pembentukan kecakapan atau kecerdasan spiritual dan emosional anak didik hanyalah tugas dan tanggung jawab para guru-guru agama dan pendidikan kewarganegaraan saja. Dan untuk pembentukan kecakapan kinestesi semata-mata menjadi tugas dan tanggung jawab para guru olahraga dan keterampilan, sedangkan penempaan dan pembentukan kecakapan intelektual adalah tugas guru-guru pengetahuan umum dan eksakta.
Sekarang tidak lagi, semua pendidik (guru) dituntut harus mampu mengarahkan dan mengajarkan anak didiknya untuk memiliki keempat aspek kecakapan atau kecerdasan dimaksud supaya kita tidak hanya terampil mencetak manusia yang cerdas secara intelektual namun miskin akan pengetahuan agama dan kepekaan sosial serta tidak tidak sehat jasmani dan rohani sebagaimana yang kita lihat dan rasakan selama ini dari produk dunia pendidikan kita.
Sudah banyak memang yang cakap dan cerdas secara intelektual, memiliki pemikiran yang brilliant, namun sayang di sisi lain ia kehilangan kecakapan dan kecerdasan spiritual serta emosionalnya. Sehingga memunculkan sikap angkuh, arogan, eksklusif, rada cuek, maa bodoh, individualis, memandang orang lain berkasta-kasta dan kehilangan sifat silaturrahim dengan sesama. Jadilah mereka sosok yang jauh dari apa yang disebut sebagai manusia yang 'Insan Kamil".
Kebalikannya, ada yang cerdas secara spiritual, namun kurang cerdas secara intelektual dan emosional, akibatnya dalah ketertinggalan, bertabi'at agak keras dan sedikit militan dalam menyikapi sebuah perbedaan, kehilangan kesantunan kepada yang bukan sesama, memiliki pandangan yang negatif terhadap terhadap kemajuan peradaban dan modernitas, dan lemah di dalam berkompetensi di kancah global yang sebenarnya diharapkan mampu membawa kemajuan bagi ummat berlandaskan dinulhaq. Demikian pula dengan dua macam bentuk kecakapan atau kecerdasan linnya, apabila hanya satu sisi yang dikuasai, tidak yang lainnya, akan sama kekurangannya. Kita tidak mencetak manusia yang paripurna.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita wujudkan proses belajar mengajar yang mampu merasuki tiap wilayah kecerdasan sebagaimana hal di atas dengan memaksimalkan kepiawaian setiap individu pendidik (guru) untuk dapat merancang metodologi pembelajaran yang melingkupi keempat aspek tersebut disaat berlangusngnya interaksi guru dan murid di ruang kelas dan di lingkungan sekolah pada umumnya.
Selamat bertugas, semoga tercapai apa yang hendak kita tuju, yakni mencetak manusia yang insan kamil.